Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar telah angkat bicara mengenai sejumlah daerah yang menggelar salat Idul Fitri 1446 Hijriah pada pagi hari. Menurutnya, sementara hal itu merupakan hak asasi, namun melihat hilal dengan posisi minus 3 derajat tidak mungkin, bahkan dengan alat canggih sekalipun.
“Itu hak asasi mereka, tapi kita sudah mengimbau bahwa dalam posisi minus 3 derajat itu, tidak mungkin bisa melihat bulan. Alat canggih manapun nggak mungkin bisa menyaksikan.”
Komentar tersebut diberikan oleh Nasaruddin Umar usai menghadiri acara Gema Takbir Akbar Nasional di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Ia menekankan bahwa pelaksanaan salat Idul Fitri adalah sunah, sementara persatuan umat muslim dalam merayakan Idul Fitri adalah yang utama.
Nasaruddin mengajak seluruh masyarakat untuk memaknai Idul Fitri sebagai simbol toleransi dan keutamaan bersama umat Islam Indonesia, seraya menegaskan pentingnya persatuan di atas perbedaan pendapat. Ia juga menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk toleransi yang perlu diwujudkan dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Meskipun beberapa daerah telah merayakan Idul Fitri lebih awal, seperti yang terjadi di Jakarta Utara, Nasaruddin menegaskan bahwa tidak mungkin untuk mencegah tindakan tersebut, mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan beragama.
Pada akhirnya, Nasaruddin Umar mendorong agar semua pihak tetap menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengambil makna keutamaan dari perayaan Idul Fitri untuk bersama-sama merayakannya sebagai umat.
Meski Pemerintah Kota Jakarta Utara tetap menggelar salat Idul Fitri sesuai keputusan pemerintah pusat pada tanggal 1 Syawal 1446 H (Senin), beberapa warga telah melaksanakannya lebih awal di Stadion Rawa Badak, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Pelaksanaan salat Id yang berjalan lancar dan aman tersebut dikonfirmasi oleh Wali Kota Jakarta Utara, Ali Maulana Hakim, serta Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Ahmad Fuady.